Seorang supir Gojek yang ternyata orang tua Kaya. Tapi . . . . |
“Ya, enggak usah pake turun segala mas. Saya masih kuat kok.”
Enggak apa-apa Pak, daripada jomplang.
“Ya.”
“Baik bu, baik. Terima kasih.”
“Siap nak.”
“Ok, kita sudah sampai.”
“Kamu sedih ya ?? Mamah tidak bisa dateng.”
Dan kadang saya senang sekali bisa menghubungkan kebahagiaan.
Kemudian ada juga interaksi dengan kota, panas, hujan, sesama.
“Pak, enggak ada jalan lain apa. Ini saya telat loh Pak.”
Kita coba jalan tikus neng
“Terserah bapak aja deh.”
“Heh, bau banget lagi.”
“Pak. Jalan tikus sih jalan tikus. Tapi enggak sekecil ini juga sih.”
Iya, maaf neng.
“Aduh bapak, ini sakit banget pak. Ini buat orang, bukan buat motor.”
Oh bapak, bawa obatnya.
“Iya.”
Terima kasih banyak.
Pak, istirahat dulu yah. Mari, mari, mari masuk.
Silahkan diminum Pak.
“Terima kasih.”
Saya sering lupa rasanya diremehkan, dikasihani, dan dengan tulus dimengerti.
Iya Pak. Yang perlu bapak ketahui bukan arahan bapak, performance kita. Tahun kemarin itu, kurang baik.
Iya Pak, yang saya ketahui itu kenaikannya sampai 60 %.
Sudah terlalu lama saya duduk dikelilingi hubungan yang berasaskan kepentingan. Interaksi yang berbasis kerakusan.
Hah, sudah lama sekali.
Video:
Foto:
Seorang supir Gojek yang ternyata orang tua Kaya. Tapi . . . . |
Seorang supir Gojek yang ternyata orang tua Kaya. Tapi . . . . |
Seorang supir Gojek yang ternyata orang tua Kaya. Tapi . . . . |
Seorang supir Gojek yang ternyata orang tua Kaya. Tapi . . . . |
No comments:
Post a Comment