Lamalera tercatat sebagai tempat Perburuan Ikan Paus sejak 400
tahun lalu
|
Awal Mei 2015, kami berada di pulau Adonara, kabupaten Flores Timur. Menyaksikan bagaimana tenaga medis bekerja bersama aktivis sosial menjangkau daerah-daerah pedalaman lewat ambulans motor, bantuan para dermawan.
Negara tak memfasilitasi tenaga medisnya karena ia punya masalah sendiri. Yakni kegagalan menentukan prioritas.
Jadi duitnya ada ??
“Duitnya ada. 2 ribu triliun kok. APBN 2014.”
Kami tinggal beberapa hari di Larantuka, sembari menanti kapal menuju pulau Lembata. Tempat dimana mamalia laut, seperti Paus atau lumba-lumba masih diburu secara tradisional. Tapi yang terpenting, kami ingin mendokumentasikan pasar barter yang masih ada di sana. Salah satu dari sedikit pasar barter yang masih tersisa di nusantara.
Sembari menanti kapal kami bersosialisasi dengan warga setempat dan melihat tradisi bekarang. Yakni mencari gurita atau binatang laut lain saat bulan purnama.
Jika di Larantuka disebut Bekarang, disekitar Benoa Bali, tradisi ini disebut Mekarang. Hal-hal seperti inilah yang dipastikan hilang jika pantai-pantai di Indonesia terus direklamasi untuk pengembangan hotel dan properti.
Harinya tiba, kapal yang membawa kami ke pulau Lembata telah datang di pelabuhan Larantuka. Jadwalnya seminggu 2x.
Bukan, pengendara touring ini bukan bagian dari kami.
Sejak meninggalkan Jakarta 5 bulan sebelumnya, kami sudah menempuh 7.400 kilometer atau sekitar 7x panjang pulau Jawa. Sepanjang perjalanan kami kerap bertemu dengan para penunggang sepeda motor yang lain.
Setelah berlayar lebih dari 3 jam, tibalah kami di pelabuhan Lewoleba, pulau Lembata. Bukan, itu bukan motor kami.
Nah, ini baru benar. Dan perjalanan pun berlanjut ke Lamalera. Desa legendaris yang lebih tepat disebut rumah para pemburu, dibanding kampung nelayan. Kami tiba sore hari bersamaan pulangnya perahu-perahu pemburu di laut Sawu. Mereka telah melaut sejak pukul 07.00 pagi.
Sore itu mereka membawa pulang Parimanta. Disinilah kami mengenal Robert. Seorang juru kemudi perahu yang telah kami film-kan sebelumnya dengan judul “Lewa di Lembata.” Kali ini kami akan kisahkan hal-hal lain yang kurang tergali di film Lewa di Lembata.
Perburuan paus atau Mamalia laut di Lamalera seperti hiu, lumba-lumba atau Pari selalu memicu kontroversi. Tapi sebelum menghakimi mereka dengan hukum-hukum lingkungan atau konservasi yang muncul belakangan, ada baiknya melihat jauh kebelakang dan meletakkannya dalam konteks sejarah yang proporsional.
Perburuan di Lamalera tercatat sejak 400 tahun. Jauh sebelum Republik Indonesia ada. Menurut peneliti Jepang, Tomoko Egami dan Otaru Kejiwa, mereka datang dari Indonesia Timur sejak abad ke 16. Mereka adalah pemburu hiu, penyu, dan parimanta.
Karena lokasi desa ini strategis, menghadap depan laut yang dilintasi paus, mereka akhirnya menetap disini. Ketika menetap, keluarga pemburu ini mulai membangun kontrak sosial dengan warga asli. Mereka harus menyerahkan ikan kepada para pemilik tanah sebagai kompensasi.
Anak cucu mereka kemudian berkembang. Hingga kini, populasi di desa Lamalera sekitar 2.000 jiwa yang terdiri dari 18 marga. Mereka menempati areal sepanjang pesisir. Adapun penduduk asli Lamalera dan keturunannya tinggal di pegunungan.
Perburuan paus dan ikan-ikan besar bagi orang Lamalera sangat terkait dengan 3 hal. Pertama, sebagai sumber makanan dan protein, dimana mereka hidup di daerah yang tandus dan sulit menemukan tanaman pangan. Kedua, sebagai mata uang dan alat tukar, karena daging-daging paus, lumba-lumba, hiu atau pari, setelah dikeringkan selama 4 pekan akan ditukar dengan bahan pangan lain, seperti jagung, pisang, atau ubi yang dihasilkan penduduk di pegunungan.
Transaksi ini terjadi di 2 pasar barter yang masing-masing hanya buka seminggu sekali. Ketiga, sebagai sistem jaminan sosial. Dengan berat rata-rata 30 ton, seekor paus sperma atau sperm whale dapat menghidupi banyak mulut. Termasuk lansia atau anak yatim piatu. Kotaro Kojima telah 25 tahun memiliki perburuan paus di Lamalera.
Kotaro Kojima, peneliti dan penulis buku, “Semua berpikir tentang menangkap ikan paus. Untuk memberi makan janda, yatim, bisa cari makan. Tapi sekarang (mulai) egois. “Saya kaya, saya oke.” Kalau begitu, barangkali (budayanya) cepat rusak.”
Awalnya ini seperti sistem jaminan sosial ??
“Jaminan sosial. Karena ikan paus, besar. Tidak bisa hanya untuk pribadi atau 1 orang saja.”
Tak akan habis dimakan.
“Kalau suatu kali melihat ikan paus. “Oh, ini besar begini. Saya maunya dibagi untuk semua.”
Singkat cerita, perburuan paus atau ikan-ikan besar di Lamalera digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. Dan tak ada satu pun bagian tubuh yang dibuang atau disia-sia kan. Sebab mereka sendiri tidak menganggap ini perburuan. Melainkan, menjemput rezeki ke tengah laut pemberian semesta.
Mereka juga mengeringkan daging hiu dan tidak hanya mengambil siripnya, seperti restoran-restoran dunia yang menyajikan menu sup sirip hiu.
Yang hiu yang mana bu ??
“Yang ini.”
Bandingkan dengan perburuan paus dunia yang tidak diambil dagingnya, melainkan minyaknya atau yang disebut spermaceti.
Sebelum ditemukan minyak bumi dan listrik, cairan spermaceti yang terletak di bagian kepala jenis paus sperma atau sperm whale digunakan sebagai minyak lampu untuk menerangi rumah dan jalanan umum. Bagi paus, spermaceti ini sendiri ikut berfungsi sebagai sonar atau sistem penglihatan dari pantulan suara.
Setelah mesin uap ditemukan, minyak paus atau spermaceti digunakan sebagai pelumnas mobil hingga mesin. Minyak paus lah yang melumasi revolusi industri Eropa dan Amerika pada abad ke 18 dan 19.
Tak heran pada abad ke 19 saja, jumlah paus yang dibunuh mencapai 200 ribu ekor atau 2 ribu ekor per tahun. Kini bandingkan dengan catatan Kotaro Kojima yang meneliti perburuan paus di Lamalera sejak tahun 1993.
Menurutnya jumlah paus yang diburu di Lamalera dalam 50 tahun terakhir sekitar 1.000 ekor atau rata-rata hanya 20 ekor per tahun. Ini seperseratus dari jumlah perburuan di abad ke 19. Tak heran jika Kojima tak merasa khawatir dengan perburuan paus atau ikan-ikan besar di Lamalera. Sebab skala perburuan yang mereka lakukan bukan skala industri untuk mengincar minyaknya.
Ada yang berkurang atau ada yang punah atau tidak om ??
Robert, juru mudi perahu
“Tidak.”
Selalu ada terus yah.
“Macam ikan paus, banyak orang bilang akan punah. Tapi kalau disini saya rasa tidak. Karena setiap kalinya ada. Setiap tahunnya ada. Namun tidak tikam.”
Pernah enggak om mengalami tiba-tiba lumba-lumba berkurang atau jumlah pari, jumlah paus berkurang ??
“Tidak pernah. Tidak, tidak merasa itu.”
Jumlahnya ada terus ya ?
“Iya.”
Cukup terus.
Namun tradisi perburuan yang penuh kearifan ini kini mulai bergeser seiring perkembangan zaman. Terutama sejak digunakannya perahu bermesin di tahun 2001, yang kini sudah berjumlah 29 unit. Sebelumnya mereka hanya menggunakan perahu kayu yang disebut peledang.
Jumlah atau jenis ikan mamalia yang ditangkap juga semakin banyak. Seiring bertambahnya penduduk atau kebutuhan untuk membeli bahan bakar yang subsidinya terus dikurangi oleh negara. Interaksi dengan ekonomi uang untuk membeli BBM inilah yang ikut meningkatkan jumlah dan jenis tangkapan dalam 15 tahun terakhir.
Cara pembagiannya bagaimana tadi om ??
Robert, juru mudi perahu
“Mestinya dibagi, matrosnya kalau. Macam tadi kalau 4 orang, pengembalian mesin atau body, itu jadi 7.”
Jadi 4 o rang yang ke laut, ditambah yang punya perahu, ditambah mesin, ditambah bensin atau minyak yah.
Kenapa jumlah mesin harus dibatasi ??
Toni, warga Lamaera,
“Jumlah mesinnya dibatasi. Jadi berat sekarang 1 tenar, 1 peledang, khusus pengangkatan sudah punya masing-masing. Tidak usah di double kan lagi, jadi secukupnya. Kalau memang dia rusak berat sama sekali, masih bisa ada kontak sosial. Untuk tenar yang satu, peledang yang satu bisa bantu untuk saya. Dan hasilnya pasti akan dibagi, tapi jangan sepenuhnya dibawa kesini, karena itu akan merubah dia punya sistem. Itu pasti, cepat atau lambat, pasti merubah. Cemburu sosialnya pun makin tinggi. Nah itu yang saya tidak mau.”
“Yang saya pertahankan itu, itu bukan begitu. Tapi yang dulu. Itu dia kuat orangnya, seperti Pak Kotaro. Itu yang mangkanya kita jelaskan tadi, ada koordinator nelayan juga seperti itu. Penangkapan tidak semena-mena kena ruang, karena uang. Nanti banyak yang rusak, tidak boleh itu. Ingat, anakmu masih ada, cucu mu masih ada. Contohnya yang mancing sekarang, nenekmu mancing disini kan dulu, saya bilang. “Iya betul,” cam kan itu. Masih bersyukur kita bilang, daerah kita ini daerah produksi ikan yang benar-benar nomor satu. Kalau enggak, mau apa.”
Kalau memang nenek kita dulu serakah, mungkin kita sekarang tidak kebagian.
“Nah itu, pemikiran itu. Logis, normal.”
Jadi sekarang, kita jangan serakah untuk anak cucu
“Benar.”
Karena ekonomi dan uang, kini mulai menggoda sebagian warga Lamaera untuk menjual gigi paus sebagai souvenir atau insang parimanta. Parimanta sendiri sejak tahun 2014 masuk kategori hewan langka yang dilindungi.
Insang parimanta digunakan untuk ramuan yang khasiatnya sangat klise kita dengar. Yakni obat kuat atau jamu perkasa bagi pria. Kalaupun ada yang perlu diperkuat disini, bukan keperkasaan para pria. Namun ikatan sosial dan adat sebagai benteng pertahanan terakhir sejarah Lamalera.
Dipersembahkan oleh Tirto.id
Video:
Foto:
Lamalera tercatat sebagai tempat Perburuan Ikan Paus sejak 400
tahun lalu
|
Lamalera tercatat sebagai tempat Perburuan Ikan Paus sejak 400
tahun lalu
|
Lamalera tercatat sebagai tempat Perburuan Ikan Paus sejak 400
tahun lalu
|
Lamalera tercatat sebagai tempat Perburuan Ikan Paus sejak 400
tahun lalu
|
Lamalera tercatat sebagai tempat Perburuan Ikan Paus sejak 400
tahun lalu
|
Lamalera tercatat sebagai tempat Perburuan Ikan Paus sejak 400
tahun lalu
|
Lamalera tercatat sebagai tempat Perburuan Ikan Paus sejak 400
tahun lalu
|
Lamalera tercatat sebagai tempat Perburuan Ikan Paus sejak 400
tahun lalu
|
Lamalera tercatat sebagai tempat Perburuan Ikan Paus sejak 400
tahun lalu
|
No comments:
Post a Comment